Koran Tempo | Senin, 30 Januari 2023
Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beragam tradisi dan budaya masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dan sarat akan nilai-nilai luhur. Salah satunya adalah Bujanggaan. Tradisi ini merupakan aktivitas membaca dan menembangkan teks naratif yang tertulis dalam manuskrip kuno dalam aksara dan bahasa Jawa. Ragam isi teks yang terkandung di dalam manuskrip mulai dari ajaran-ajaran agama, moral, etika, catatan sejarah, hingga tata cara aktivitas agraria yang populer pada masa silam.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini terancam punah. Faktor-faktor yang menyebabkannya adalah regenerasi yang tidak berlangsung baik seiring para maestro Bujanggaan yang sudah mulai tutup usia, adanya penentangan dari kelompok-kelompok keagamaan ekstrem tertentu sehingga mempengaruhi pandangan masyarakat, hingga adanya kesenjangan akses dan media penyebaran yang digunakan. Di sisi lain, hal ini turut berdampak pada Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) di Provinsi Jawa Barat (52,04) juga yang masih di bawah angka IPK Nasional. Padahal Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mencantumkan tradisi lisan dan manuskrip sebagai objek kebudayaan yang wajib dilestarikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai identitas budaya bangsa. Di sisi lain, Survey BAPPEDA Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa 63% generasi muda Indramayu tidak berminat menjadi petani. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di Indramayu dan Jawa Barat sebagai salah satu lumbung pangan Nasional dalam posisi terancam di masa mendatang.
Atas dasar itu, Yayasan Surya Pringga Dermayu, sebuah lembaga swadaya yang fokus pada edukasi dan pelestarian manuskrip-manuskrip kuno Indramayu, menginisiasi diskusi terpumpun bertajuk “Bujangga dan Tantangan Pelestariannya di Era Digital untuk Ketahanan Pangan” pada Rabu (25/1/2023). Acara ini menghadirkan Dr. Munawar Holil, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, dan Ilham Nurwansah, M.Pd., peneliti Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea). Turut hadir pada acara ini para pejabat di lingkungan Dinas Perpustakaan dan Arsip beserta para pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu. Selain itu, maestro Bujanggaan Indramayu, Ki Lebe Warki dan timnya turut meramaikan acara melalui tembang-tembang manuskrip Bujangga. Acara ini juga dihadiri oleh berbagai masyarakat lintas kalangan mulai dari akademisi, siswa sekolah menengah atas, hingga para pegiat literasi daerah khususnya di Kabupaten Indramayu. Kegiatan ini didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia melalui program DanaIndonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Dalam sambutannya Ketua Yayasan Surya Pringga Dermayu ini mengapresiasi sinergi pemerintah dengan masyarakat dalam upaya bersama melestarikan tradisi Bujanggaan dan manuskrip-manuskripnya, “Sinergi dan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam pelestarian tradisi Bujanggaan ini.” Ujar Sri Tanjung Sugiarti Tarka. “Kegiatan ini juga dipandang sebagai upaya kami mewakili masyarakat pegiat manuskrip kuno di Indramayu dan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam mendekatkan akses-akses pengetahuan yang terkandung dalam tradisi dan budaya masyarakat pada masa silam dan selalu relevan dalam kehidupan hari ini, termasuk dalam aspek pertanian.” Lanjutnya.
Munawar Holil dalam uraian materinya sebagai pembicara mengungkap bahwa tradisi membaca naskah di Indonesia amat beragam. “Indonesia memiliki kekayaan tradisi intelektual bangsa berupa tradisi membaca manuskrip mulai dari ujung barat Nusantara hingga wilayah paling timurnya. Setiap daerah itu memiliki penyebutan masing-masing. Misalnya wilayah Sunda ada Wawacan, Mamaos, Beluk, dan sejenisnya. Jawa mengenal istilah Macapat, Mocoan, dan sebagainya. Indramayu ternyata memiliki tradisi yang sama dalam pembacaan manuskrip yakni Bujanggaan.” Ungkap dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu. “Namun dari sekian banyak riset yang dilakukan tentang manuskrip dan tradisinya, baru sedikit penelitian yang mengkaji tradisi membaca manuskrip di Indramayu.” Tandasnya.
Lebih lanjut, Ilham Nurwansah menambahkan, “Padahal, dalam beberapa data manuskrip yang saya temukan di Indramayu, ada manuskrip-manuskrip yang berbicara tentang isu-isu penting seperti catatan pertanian Indramayu pada masa silam terkait dengan buah mangga dan kopi yang bermanfaat untuk arah kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan di wilayah ini.” Ujar lulusan sastra Sunda Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung itu. “Pada masa silam, teks-teks yang dilantunkan oleh Bujangga inilah yang menjadi sarana komunikasi budaya yang efektif oleh pemerintah kolonial dalam menyebarkan informasi-informasi penting. Namun, perlu adanya penyesuaian cara untuk menyampaikan konten-konten lokal yang terkesan “berat” ini seperti kolaborasi dengan para influencer, alih media teknologi sehingga mendekatkan tradisi ini kepada kawula muda.” Tutur Ilham.
Di akhir kegiatan, pihak-pihak pemerintah yang hadir mengapresiasi kegiatan kolaboratif semacam ini. “Acara ini merupakan bukti bahwa pemerintah hadir dalam upaya pelestarian dan penanaman nilai-nilai luhur dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya masyarakat Indramayu sesuai dengan amanat Undang-Undang.” Tutup Tati Hartati, Kepala Bidang Pengelolaan Perpustakaan dan Pelestarian Bahan Pustaka Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Indramayu.
Baca selengkapnya:
https://koran.tempo.co/read/info-tempo/479957/tantangan-melestarikan-bujangga-di-era-digital