detikJabar | Jumat, 27 Jan 2023 09:00 WIB
Indramayu – Menjadi dalang bujanggaan tak pernah terbesit sebelumnya oleh Ki Warki. Pria berusia 62 tahun asal Desa Jambak, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu itu tetap eksis melantunkan kidungan di beberapa kesempatan acara adat.
Semasa mudanya, Warki atau dikenal Ki Lebe sering mendengar bahkan mengikuti kegiatan bujanggaan. Sebab, dulu kata Warki, seni kidungan masih kental dilakukan setiap acara adat masyarakat. Baik puputan, sedekah bumi, ngarotan dan kegiatan masyarakat lainnya.
Dari situ kisah ki Warki sang maestro bujanggaan dimulai. Di usia 36 tahun, Warki sering mengikuti Ki Waspan atau Seblung salah satu dalang bujangga di desa. Diakui Warki, selain tidak bisa melantunkan nada bujanggaan, ia pun belum mengenal huruf carakan (Jawa) atau pegon (Arab Gundul Jawa) yang ada dalam tulisan pupuh naskah kuno
“Tadinya tidak bisa baca tulisan naskah kuno ini, kalau istilahnya peteng dedet (gelap gulita),” kata Ki Warki kepada detikJabar, Kamis (26/1/2023).
Diceritakan Ki Warki, bahwa suatu hari ia mendengar kabar Ki Waspan telah jatuh sakit. Sebagai junior yang sering mengikuti bujanggaan, Warki kemudian menjenguk Ki Waspan di rumahnya.
Rupanya, Ki Waspan memandang Ki Warki muda memiliki keseriusan dalam menjaga seni bujanggaan. Kemudian dari balik kasur, Ki Waspan mengeluarkan buku lapuk yang berisi salinan wawacan kisah Nabi Yusuf dan diberikan kepada Ki Warki untuk dipelajarinya.
“Nah, setelah itu orang yang bisa ngidung (Ki Waspan) sakit, pas hari Jumat saya jenguk. Saya dikasih tahu bahwa ada buku untuk dipelajari,” kata Ki Warki.
Karena belum menguasai penuh teknik maupun cara melantunkan bujanggaan. Ki Warki kemudian belajar bersama rekan-rekannya. Sesekali mereka tampil di beberapa acara untuk mengukur kemampuannya.
Suatu ketika, Ki Warki mendapat keajaiban yang sebelumnya tidak ia duga. Saat mencoba memulai bujanggaan di acara puputan (tradisi untuk bayi yang berusia 40 hari) tiba-tiba nada yang dikeluarkan seolah lancar. Bahkan, tulisan dalam buku yang menggunakan huruf carakan itu bisa ia baca.
“Tapi tetap tanya tanya lagi sama yang sudah sepuh. Untuk menyamakan saja apakah nadanya sudah benar sudah pas ataukah masih ada yang perlu ditambahkan,” cerita Ki Warki saat pelajari seni Bujanggaan.
Sejak saat itu, atau sekitar tahun 2005, Ki Warki mulai eksis melantunkan bujanggaan. Tak hanya serat kisah Nabi Yusuf buku yang ia miliki. Melainkan juga naskah Suluk Bangun Umah, Naskah Ki Syekh Jabar atau Mutmainnah yang ceritanya tentang wejangan dan tuntunan ajaran Islam serta norma sosial masyarakat.
Bahkan, Ki Warki pun bisa mengenal 17 jenis pupuh ketika membaca setiap episode dalam kisan di naskah tersebut. Runutan penggunaan pupuh konsisten dilakukan Ki Warki. Meski, seringnya ia hanya menggunakan 4 jenis pupuh seperti pupuh Asmarandana, Sinom, Dandanggula dan pupuh Kinanti.
Kini, Warki tetap menjaga keahlian dalam bujanggaan bersama rekan lainnya di Sanggar Surya Pringga Dermayu. Kemauannya itu demi tetap melestarikan kesenian warisan budaya turun temurun.
Namun, usia Ki Warki yang terus bertambah membuat nya khawatir. Seni bujanggaan bisa hilang sebab minat generasi penerus untuk seni bujanggaan terlihat jarang. Bahkan, ia pun mengaku kesulitan untuk mencari penerusnya.
“Istilahnya kita sering ngajak terus-terusan tapi ya gitu, kadang datang kadang lepas ga mau ikut lagi,” katanya.
Sumbe: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6535620/kisah-ajaib-ki-warki-jadi-maestro-bujanggaan-indramayu.